TINJAUAN PUSTAKA
1. Algae
1. Algae
Algae
dapat dimanfaatkan sebagai bahan biodiesel algae yang digunakan biasanya adalah
algae hijau unisellular yang hidup di habitat air. Algae jenis ini adalah
organisme eukaryotik fotosintetik, ditandai dengan tingkat pertumbuhan yang
tinggi dan kepadatan populasi yang tinggi. Dalam kondisi baik, ganggang hijau
dapat menggandakan biomassanya dalam waktu kurang dari 24 jam. Selain itu,
ganggang hijau juga memiliki kandungan lipid yang besar, seringkali lebih dari
50%. Kandungan lipid dan kepadatan biomassa yang tinggi sangat ideal untuk dibudidayakan
secara intensif dan bisa jadi merupakan sumber yang sangat baik untuk produksi
biodiesel (Champbell 2008).
Ukuran
tubuh (thalus) algae berkisar dari bentuk mikroskopik yang berenang-renang di
permukaan air atau disebut pula bentuk nonmotile (misalnya nanoplankton dan
benthos) sampai macroskopik (benthic). Namun, Kebanyakan algae hijau berukuran
mikroskopik. Struktur thalusnya juga kompleks dari bentuk nonmotile yang
uniseluler hingga bentuk filamen, bentuk koloni, dan yang memiliki morfologi
yang bercabang. Bentuk uniselular misalnya pada genus Loricas, sedangkan bentuk
koloni misalnya pada Volvox (Lewis dan Richard 2004).
Alga
hijau, alga merah ataupun alga coklat merupakan
sumber potensial senyawa bioaktif
yang sangat bermanfaat bagi pengembangan
industri farmasi seperti
sebagai antibakteri, anti tumor, antikanker atau sebagai reversal agent dan
industri agrokimia terutama
untuk antifeedant, fungi-sida dan
herbisida. Kemampuan alga laut untuk
memproduksi metabolit sekunder
terhalogenasi yang bersifat
sebagai senyawa bioaktif dimungkinkan terjadi,
karena kondisi lingkungan hidup alga yang ekstrem
seperti salinitas yang tinggi atau digunakan untuk
mempertahankan diri dari ancaman predator. Hasil pengujian in vitro maupun in vivo menunjukkan
bahwa biotoksin aktif yang diisolasi dari alga laut Fucur
vesiculosus dan Archidoris pseudoargus memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri S. aeureus dan Streptococcus
sp (Dali et al. 2011).
2.
Cyanobacteria
Cyanobacteria
memiliki karakteriktik seperti bakteri namun memiliki kemampuan untuk
menggunakan cahaya matahari untuk memecah air menjadi oksigen (fotolisis), yang
akan digunakan dalam fotosintesis. Beberapa cyanobacteria juga mampu mereduksi
gas dinitrogen dari atmosfer menjadi amonium (fiksasi N2),
menjadikan mereka hanya membutuhkan kebutuhan nutrisi yang sederhana yaitu
hanya udara, air, nutrisi anorganik sedikit, dan cahaya. Fiksasi nitrogen
terjadi dalam sel-sel khusus yang berbeda yang disebut sel heterosit, dan fotosintesis
berlangsung di sel lain yang disebut sel vegetatif (Meeks dan Jeff 2002).
Cyanobacteria
adalah organisme yang memiliki karakteristik bakteri dan algae, sehingga kadang
dianggap sebagai organisme peralihan. Cyanobacteria memiliki keiripan dengan algae
terutama pada ukuran tubuhnya yang menyerupai algae, dan tak sama seperti
bakteri pada umumnya, mereka memiliki pigmen hijau-biru dan pigmen hijau yang
dapat membuat mereka bisa melakukan fotosintesis. Oleh karena kandungan
pigmennya ini, mereka disebut juga sebagai ganggang hijau biru (meskipun
sebenarnya warna hijau lebih dominan muncul daripada warna biru). (Kurmayer et
al. 2002).
Kebanyakan
cyanobacteria adalah organisme aerobic yang mampu memproduksi O2
dari fotosintesis. Pada kondisi aerob, sel vegetatif melakukan fotosintesis O2
dan fiksasi CO2 sedangkan penambatan nitrogen pada sel lain,
yakn sel heterosit. Diferensiasi sel vegetatif pada cyanobacteria dilakukan
melalui mekanisme pembelahan sel. Sel vegetatif menyumbangkan sukrosa ke sel
heterosit sebaliknya sel heterosit menyumbangkan glutamin untuk fiksasi N2
(Bothe et al. 2010).
3.
Azolla
Azolla berasal dari kata Yunani azo (kering) dan allyo (membunuh) yang berarti bahwa tanaman mati ketika mengering. Genus Azolla termasuk didalam family Salvinaceae ordo Salviniales. Namun taksonomi sekarang menempatkannya termasuk dalam famili Azollaceae. Ada tujuh atau delapan yang masih ada dan lebih dari empat puluh fosil spesies Azolla yang diketahui. Genus ini lebih dikategorikan menjadi dua sub-genus Euazolla dan Rhizosperma. Euazolla ditandai dengan tiga megaspore yang mengapung dan mencakup lima spesies baru yaitu A. carolininia, A. filiculoides, A. mexicana, A. microphylla dan A. rubra. Sub genus Rhizosperma terdiri dari dua spesies lama yaitu A. pinnata dan A. nilotica
(Raja et al. 2012).
Salah
satu teknologi dalam pertanian organik atau pertanian yang ramah lingkungan
dalam rangka mengatasi adalah dengan menggunakan Azolla baik dengan cara
diinokulasikan maupun sebagai tanaman pendamping bagi tanaman pokok. Azolla adalah
tanaman air mini yang mampu memfiksasi N dari udara. Jika Azolla yang memiliki
kandungan N yang tinggi tersebut telah tumbuh dan menutup seluruh permukaan air
(kira-kira 28 hari) pada lahan sawah, sebanyak 30 kg N/ha akan disumbangkan oleh
Azolla ke dalam lahan sawah, serta kehilangan N pupuk buatan lewat volatilisasi
dan aliran air permukaan (run off)
dapat dihambat (Nurmayulis et al. 2011).
Asosiasi
Azolla-Anabaena sangat penting dalam pertanian karena kemampuannya untuk
fiksasi nitrogen dari atmosfer dengan lebih cepat sehingga membuat nitrogen
tersedia untuk tanaman. sistem kemampuan fiksasi nitrogen ini disebabkan adanya
simbiosis cyanobacterium Anabaena azollae yang mendiami lobus dorsal daun. Hal
ini penting karena membantu dalam pengayaan dan memelihara kesuburan tanah dan
dengan demikian menawarkan keberlanjutan ekologis dalam jangka panjang (Raja et
al. 2012).
4.
Protozoa
Klasifikasi
protozoa dan mikroorganisme lainnya di atas tingkat organisasi dari bakteri
selalu bergantung pada mikroskop karena ukuran panjang tubuh yang umumnya hanya berkisar dari satu mikrometer
sampai satu atau dua milimeter. Kemajuan dan pengembangan pengetahuan tentang
mikroorganisme telah banyak membantu mengenal mikroorganisme eukariotik secara
umum, dan membantu pula dalam klasifikasi taksonomi pada protozoa.
Kategori-kategori umum diakui adalah bentuk moeboid (Sarcodina), bentuk
flagellata (Mastigophora, termasuk kelompok autotrophic - atau fotosintesis- serta
spesies heterotrofik), bentuk bersilia (Ciliophora), dan berbagai bentuk hasil
simbiosis dan bentuk parasit (terutama membentuk spora spesies yang biasanya
endoparasit, beberapa sangat patogen kepada inangnya, yang disebut Sporozoa,
takson tingkat tinggi yang kemudian menjadi dibagi menjadi Sporozoa dan
Cnidosporidia) (Corlis 2001).
Beberapa
decade terakhir, kasus akibat protozoa parasit sering muncul terutama akibat
air yang tercemar atau melalui makanan. Jenis protozoa yang paling banyak
dibahas sebagai protozoa parasit pada makanan ialah Cryptosporidium, Cyclospora, Giardia, dan Toxoplasma. Meskipun ada pula protozoa parasit yang lain yang bisa
menyebar lewat makanan dan minuman, namun yang resiko dan kemunculannya lebih
tinggi ialah pada keempat jenis protozoa tersebut (Dawson 2005).
Pada bidang peternakan,
adanya mikroorganisme seperti protozoa dan bakteri akan membantu proses
pencernaan pakan secara fermentatif di dalam rumen. Sebagian besar protozoa yang terdapat didalam
rumen adalah cilliata meskipun flagellata juga banyak dijumpai. Cilliata ini merupakan non pathogen dan anaerobik
mikroorganisme. Cilliata juga mampu
memfermentasi hampir seluruh
komponen tanaman yang terdapat
didalam rumen seperti: selulosa,
hemiselulosa, fruktosan, pektin,
pati, gula terlarut
dan lemak. Selain
itu ciliata/protozoa juga menelan partikel-partikel pati sehingga
memperlambat terjadinya fermentasi (Dudung et al. 2013).