Sifat
kimia tanah sangat penting karena mempengaruhi dan menentukan kondisi kesuburan
suatu tanah. Mempelajari kimia tanah perlu dilandasi dengan pemahaman terhadap
bagian fraksi yang reaktif dalam tanah yang disebut dengan koloid tanah, reaksi
tanah (pH), dan kandungan hara tanah, serta status ketersediaan hara bagi
tanaman (Madjid 2007).
Bila ditinjau dari sifat-sifat kimianya, maka koloid dapat
dikatakan dapat merupakan suatu garam yang bersifat masam. Zarah kolloidal
terdiri dari gugusan kompleks yang bermuatan negatif atau disebut misel (bahasa
Inggris: micelle, Microsoil), dan sejumlah berbagai kation yang dijerap misel
tersebut. Di daerah humid termasuk Idonesia, kation kalsium aluminium dan
hidrogen merupakan yang terbanyak (Minardi dan Sutopo 2000)
Sifat kimia tanah
berhubungan pula dengan komposisi mineral tanah. Mineral tanah dibagi menjadi
mineral primer dan mineral sekunder. Mineral primer berasal dari batuan beku
yang dari segi kimiawinya belum mengalami perubahan, misalnya kuarsa. Mineral
ini merupakan sumber utama unsur kimia ataupun juga bahan pokok senyawa
anorganik pada tanah. Sedangkan mineral sekunder dan bahan organik yang
bertingkatan koloid akan menyusun fraksi tanah yang aktif (Sutedjo
dan Kartasapoetra 2005).
Keasaman
atau pH (Potential of hidrogen) adalah nilai pada skala 0-14 yang
mengambarkan jumlah relatif ion H+ terdapat ion OH- didalam
larutan tanah. Larutan tanah disebut bereaksi asam jika nilai pH berada pada
kisaran 0-6, artinya larutan tanah mengandung ion H+ lebih
besar daripada ion OH- sebaliknya jika jumlah ion H+ dalam
lautan tanah lebih kecil daripada ion OH- larutan tanah disebut
bereaksi basa (alkali) atau miliki pH 8-14. Tanah bersifat
asam karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium.
Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah
atau hilang diserap oleh tanaman (Hendra 2010).
Kalium merupakan unsur
hara makro primer bagi tanaman. Keberadaan unsur ini sangat penting untuk
pertahanan diri tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kekeringan. Sistem pertanian organik nyata meningkatkan
kandungan K tersedia tanah, meskipun pada sistem non pertanian organik ada loka
yang menunjukkan K tersedia lebih tinggi, tetapi kemungkinan hal ini terjadi
karena baru saja dipupuk KCl. Sistem pertanian organik memungkinkan
keseimbangan nutrisi yang lebih baik (Utami dan Handayani 2003).
Referensi:
Minardi, S. dan Sutopo. 2000. Buku Pegangan Kuliah Fakultas Pertanian
Dasar-dasar Ilmu Tanah I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Madjid Abdul. 2007. Klasifikasi Tanah USDA 1975. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/2007/12/klasifikasi-tanah-usda-1975.html.
Diakses pada 28 Oktober 2012 pukul 10.55 WIB.
Hendra.
2010. Mengetahui Kesuburan Tanah Vs
Pemupukkan. http://ditjenbun.deptan.go.id/benihbun/benih/index.php?option=com_content&task=view&id=178&Itemid=26. Diakses tanggal 27 Oktober 2012
pukul 13.07 WIB.
Sutedjo, Mul Mulyani dan A.G.
Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah
Terbantuknya Tanah dan Tanah Pertanian Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta.
Utami, Sri Nuryani H dan Suci Handayani.
2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem Pertanian Organik Vol. 10 No. 2 hlm 63-69.
Ilmu Pertanian. Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar